Senin, 21 Januari 2013

Perbedaan Antara Konflik dan Kekerasan

2.2 Perbedaan Antara Konflik dan Kekerasan
Seperti telah dikatakan di atas yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa konflik atau pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Dengan demikian, disimpulkan bahwa konflik akan menimbulkan kekerasan serta suatu perubahan sosial. Jadi, kekerasan dapat timbul karena adanya konflik atau pertentangan dalam suatu kelompok di dalam anggota masyarakat.
Pandangan umum tentang hubungan antara kekerasan dengan perubahan ini telah dirangkum oleh Bienen berdasarkan studi kepustakaannya, dan mengemukakan tiga proporsi, yaitu :
1. Kebanyakan perubahan sosial dan politik tidak diakibatkan oleh revolusi dengan kekerasan.
2. Revolusi merupakan titik batas antara suatu proses yang berjalan lambat dan penataan kembali masyarakat yang berlangsung secara cepat dan radikal.
3. Kekerasan berkala luas dapat dihubungkan dengan semakin banyak yang berubah, semakin banyak yang tetap sama.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh pemikir yang melihat kekerasan sebagai alat reformasi sosial. Di Amerika Serikat, kekerasan telah dihubungakan dengan masalah sosial sejak jaman pemberontakan budak sampai perjuangan hak-hak sipil sekarang ini. Kekarasan juga telah menandai gerak buruh dan gerakan memperjuangkan pak pilih wanita. Menurut Drake dalam setiap kasus, kekerasan telah menjadi faktor penting yang mempercepat gerakan itu mencapai tujuannya. Kekerasan mempunyai fungsi psikologi-sosial tertentu bagi anggota sebuah gerakan. Ini mungkin terdengar seakan-akan berlawanan dengan pernyataan sebelumnya bahwa konflik internal mempermudah pencapaian tujuan, tetapi menurut Robert H. Laurer dua hal yang perlu diingat, yaitu :
1. Konflik penting bagi penentuan yan diambil oleh suatu golongan untuk melakukan sebuah gerakan, dan solidaritas bagi efektifnya pemogokan. Solidaritas ini penting peranannya dalam mencapai berbagai perubahan yang diinginkan, dan solidaritas ini terjamin karena kekerasan yang terjadi ketika pemogokan mulai terjadi.
2. Di dalam suatu gerakan dapat terjadi konflik dan solidaritas pada waktu bersamaan dan diantara keduanya tidak harus bettentangan. Konflik bias terjadi secara internal dengan menggunakan metode tertentu dalam penyelesaiannya.
Kekerasan merupakan perbuatan dari seseorang atau kelompok yang menyebabkan kerusakan fisik atau korban jiwa. Konflik akan berubah menjadi kekerasan apabila dalam pengelolaan penyelesaiannya tidak mencapai tujuan yang diharapkan oleh masing-masing pihak yang terkait.
Konflik dan kekerasan dapat dibedakan namun satu sama lain saling terkait. Kekerasan sering terjadi di lingkungan sekitar kita, sebagai contoh tawuran antar warga, tawuran antar pelajar dan tindakan main hakim sendiri di lingkungan masyarakat, seolah-olah hukum tidak berlaku lagi.
2.3 Berbagai Macam Konflik Masyarakat di Indonesia
Dalam satu dasawarsa terakhir, kita dikejutkan oleh konflik sosial yang desertai tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah, tempat ibadah dan pertokoan serta pemerkosaan. Intensitas dan ekstensitas konflik sosial yang terjadi sekarang berpotensi kian meningkat, terutama konflik sosial yang bersifat horizontal, yakni konflik yang berkembang di anggota masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal yakni antara masyarakat dan Negara.
Konflik berdimensi horizontal biasa disimak dalam konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antara golonga (SARA) di Maluku dan Ambon. Setelah sebelumnya juga terjadi kekerasan seperti kasus Mei 1998, kasus Ketapang dan lain-lain. Sementara itu, konflik berdimensi vertical terjadi seperti di Aceh dan Papua serta daerah-daerah yang berpotensi memisahkan diri atau menuntut kemerdekaan.
Perkembangan terakhir menunjukkan kepada kita, konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif dan cenderung memiliki pertambahan yang harus terus meningkat dan meluas sehingga menimbulkan rasa was-was dan keprihatinan, bahkan telah mengusik perasaan ketentraman dalam masyarakat. Kasus Ambon dan Maluku merupakan konflik sosial dalam masyarakat yang cenderung destruktif dan anarkis sehingga tidak bias dianggap mudah dan harus diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintegrasi nasional.
Banyak yang harus direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat incidental yang digerakkan oleh tangan-tangan kotor atau elite politik dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat (menggoyang instabilitas pemerintahan baru), ataukan justru merupakan potensi laten yang selama ini terpendam dalam masyarakat ?.
Konflik sosial yang berselimutkan agama dan etnis sesungguhnya terjadi karena, adanya tujuan politik tertentu, misalnya kekuasaan. Disinilah perlu kesadaran dan kewaspadaan terhadap pihak-pihak tertentu yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasan.
Selain konflik sosial disertai kekerasan kolekif seperti di Ambon dan Maluku, masuh banyak tindak kekerasan yang ada dalam masyarakat. Kekerasan di Maluku dan Ambon barulah konflik sosial yang terekam (record) dan hanya bagian dari kenyataan yang secara resmi diketahui oleh masyarakat luas dan aparat pemerintah

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Pages